Chongqing, Federasi Cina Bersatu
(Pada masa awal Perang Zombie, area ini memiliki populasi lebih dari 35 juta orang, namun sekarang populasinya hanya ada 50 ribu orang. Area ini cenderung lebih lambat menerima kucuran dana karena pemerintah lebih banyak berkonsentrasi pada area padat penduduk. Di sini tak ada jaringan listrik primer, dan tak ada air kecuali yang mengalir di Sungai Yangtze. Akan tetapi, jalanannya bersih dari reruntuhan, dan "dewan keamanan" lokal telah berhasil mencegah semua upaya pemberontakan pasca perang. Kwang Jingshu, si ketua dewan keamanan, adalah seorang dokter yang masih menerima panggilan ke rumah pasien-pasiennya, walaupun sudah tua dan masih memiliki cedera perang.) Penyebaran wabah pertama dimulai di desa terpencil yang pejabat setempat bahkan tak tahu namanya. Penduduk desa menyebut daerah itu "Dachang Baru," tapi hanya karena alasan nostalgia. Rumah mereka sebelumnya, "Dachang Lama," sudah ada sejak zaman Tiga Kerajaan, lengkap dengan lahan-lahan pertanian, rumah-rumah, dan bahkan pepohonan yang kabarnya sudah berusia berabad-abad. Akan tetapi, ketika Bendungan Tiga Lembah selesai dibangun dan membanjiri desa itu, sebagian besar Dachang dibangun kembali di atas daratan yang lebih tinggi. Dachang Baru yang ini bukan lagi rumah penduduk desa, melainkan sebuah "museum sejarah nasional." Sangat ironis ketika penduduk melihat desa mereka dibangun kembali, namun kemudian hanya bisa mengunjunginya sebagai turis. Mungkin itu sebabnya mereka menyebut desa kedua ini sebagai "Dachang Baru" agar masih bisa merasa punya hubungan dengan akar tradisi mereka, walau hanya sebatas nama. Aku sendiri dulu tidak tahu-menahu soal desa kecil bernama Dachang Baru, jadi bisa kau bayangkan betapa bingungnya aku ketika menerima telepon itu. Saat itu, rumah sakit sedang sepi; tak banyak pasien malam itu walau jumlah kecelakaan karena pengemudi mabuk sedang meningkat. Sepeda motor sangat populer. Kami biasa bercanda bahwa Harley Davidson kalian membunuh lebih banyak pemuda kami dibandingkan dengan para prajurit saat Perang Korea. Suasana sepi itu membuatku lega; aku sudah lelah, dan punggung serta kakiku sakit. Aku sedang berjalan keluar untuk merokok sambil menikmati pemandangan fajar ketika namaku dipanggil. Resepsionisnya masih baru dan tidak begitu paham dialek setempat; pokoknya, ada kecelakaan atau kasus penyakit yang darurat dan bisakah seseorang datang melihat? Yah, aku bisa apa? Para dokter muda, bocah-bocah yang berpikir bahwa jabatan sebagai dokter hanya sarana untuk mengisi rekening bank, sudah tentu tak mau repot-repot pergi untuk menolong para "nongmin" tanpa bayaran. Kurasa aku masih punya jiwa revolusioner. Tugas kita adalah bertanggungjawab untuk kesejahteraan masyarakat*. Kata-kata itu masih terngiang di kepalaku saat mobil Deer milikku menerjang jalan tanah yang tadinya dijanjikan akan diperbaiki oleh pemerintah tapi tak kunjung selesai. Susah sekali menemukan tempat itu, karena resminya tidak ada di peta. Aku beberapa kali tersesat dan harus bertanya pada penduduk setempat yang semuanya menyangka aku sedang mencari museum. Ketika aku akhirnya melihat rumah-rumah kecil di atas bukit itu, aku sudah kesal. Pikirku, sebaiknya ini serius. Tapi ketika melihat ekspresi mereka, aku seketika menyesali pikiranku itu. Ada tujuh orang pasien; semuanya tak sadarkan diri dan terbaring di ranjang. Penduduk desa telah memindahkan mereka ke ruang pertemuan desa, yang dinding dan lantainya berlapis semen. Udaranya dingin dan lembab. Jelas saja mereka jadi sakit, pikirku. Aku bertanya ke penduduk desa tentang siapa yang merawat mereka, dan mereka bilang tidak ada, karena "tidak aman." Kulihat pintunya juga dikunci dari luar. Orang-orang itu terlihat ketakutan; mereka saling berbisik, menjaga jarak, dan beberapa berdoa. Aku jadi marah; bukan marah pada mereka, melainkan melihat tindakan mereka yang mencerminkan karakteristik kami sebagai bangsa. Setelah melalui berabad-abad tekanan dari bangsa asing dan eksploitasi, kami akhirnya berhasil mendapat tempat yang cukup terhormat di dunia. Kami menjadi negara kaya dan adikuasa, dan menguasai segalanya mulai dari teknologi luar angkasa sampai jaringan cyber. Saat itu adalah awal dari apa yang disebut dunia sebagai "Abad Tiongkok," namun ternyata banyak dari kami yang masih hidup penuh takhayul, seperti bandit-bandit Yangshao jaman dulu Pikiranku masih setengah mengembara dalam kritik kebudayaan ini ketika aku akhirnya berlutut untuk memeriksa pasien pertama. Gadis itu menderita demam tinggi, dan dia gemetaran. Dia mengerang ketika aku mencoba menggerakkan lengannya. Ada bekas gigitan di lengan kanannya. Ketika aku memeriksanya lebih lanjut, aku menyadari bahwa luka itu bukan bekas gigitan hewan. Dilihat dari radius luka dan bentuk bekas gigi, gadis itu nampaknya digigit manusia, mungkin anak-anak. Aku menduga bahwa infeksinya mungkin berasal dari luka ini, namun lukanya ternyata bersih. Aku bertanya lagi pada penduduk desa: siapa yang telah merawat orang-orang ini? Lagi-lagi mereka menjawab tidak ada, tapi aku tahu itu tidak benar. Mulut manusia dipenuhi bakteri, bahkan melebihi mulut anjing paling jorok sekalipun. Jika benar tak ada seorangpun yang merawat gadis ini, mengapa lukanya sangat bersih? Aku memeriksa keenam pasien lainnya. Semua menunjukkan gejala yang sama dan memiliki luka yang mirip, namun di bagian-bagian tubuh yang berbeda. Aku bertanya pada salah satu dari mereka yang nampaknya masih cukup sadar soal siapa yang telah menggigit mereka, dan ia menjawab "dia." Aku menemukan si Patient Zero dikunci di dalam sebuah rumah kosong di seberang desa. Umurnya dua belas tahun. Tangan dan kakinya diikat dengan tali. Kulit di bawah ikatan tali itu telah tergores, namun tidak mengeluarkan darah. Aku juga tidak melihat darah di luka-luka di lengan dan kakinya, serta ujung koyak dimana jempol kaki kanannya tadinya berada. Ia menggeliat-geliut seperti binatang liar, dan sebuah sumpal kain menyumbat suara geraman dari mulutnya. Penduduk desa mencoba menahanku. Mereka memperingatkanku agar tidak menyentuhnya, bahwa dia telah "dikutuk." Aku tak menghiraukan mereka dan mengambil masker serta sarung tangan lateksku. Kulit bocah itu dingin dan berwarna kelabu seperti lantai semen tempatnya dibaringkan. Aku tak bisa merasakan denyut nadi atau detak jantungnya. Matanya menyorot liar dan nampak menonjol pada rongganya, tatapannya terarah padaku seolah aku mangsa. Ia sangat buas ketika aku memeriksanya, beberapa kali mencoba meraihku dan berusaha mengatup-ngatupkan giginya ke arahku di balik sumpalan di mulutnya. Aku harus meminta bantuan dua orang pria desa berbadan besar untuk menahannya. Mereka mulanya menolak, merengket di pintu masuk seperti bayi-bayi kelinci. Aku berusaha menjelaskan bahwa mereka tak akan terinfeksi jika menggunakan masker dan sarung tangan sepertiku. Ketika mereka masih juga menggelengkan kepala, aku membentak dan mengatakan bahwa itu perintah resmi, walaupun sebenarnya aku tak punya kewenangan untuk itu. Akan tetapi, itu sudah cukup membuat mereka menurut dan berlutut di sampingku. Satu orang memegangi kaki si bocah sementara yang lain memegangi tangannya. Aku mengambil sampel darah, tetapi suntikanku hanya berhasil mengambil cairan kental kecoklatan. Bocah itu kembali memberontak ketika aku menarik jarum suntik dari kulitnya. Salah satu "asistenku" memutuskan untuk melepaskan tangan si bocah dan menahannya di lantai dengan lututnya sebagai gantinya. Akan tetapi, bocah itu tetap memberontak, dan kemudian kudengar lengan kirinya patah. Ujung-ujung tajam tulang nampak menonjol menembus kulitnya. Bocah itu nampaknya tidak merasa kesakitan atau bahkan menyadarinya, namun itu sudah cukup bagi kedua pria besar itu untuk melesat kabur karena ketakutan. Aku langsung mundur beberapa langkah. Aku malu sekali mengakui ini, sebenarnya. Aku sudah menjadi dokter sepanjang usiaku. Aku sudah dilatih dan...yah, kau bahkan bisa bilang kalau aku dibesarkan oleh Pasukan Pembebasan Rakyat. Aku sudah merawat banyak korban perang dan bahkan beberapa kali hampir tewas. Tapi saat itu, aku ketakutan seperti anak kecil. Bocah itu memutar tubuhnya menghadapku, dan lengan kirinya terputus. Kulihat otot dan daging lengannya makin lama makin tertarik, hingga lengan itu hanya menyisakan puntung. Lengan kanannya, yang kini bebas namun terikat pada potongan tangan kirinya, menyeret tubuhnya melintasi lantai. Aku buru-buru lari keluar dan mengunci pintu. Aku mencoba menenangkan diriku sambil mencoba menyembunyikan rasa takut sekaligus malu. Suaraku masih sedikit bergetar ketika aku bertanya bagaimana bocah itu bisa sampai terinfeksi. Tak ada yang menjawab, dan aku mendengar suara gedoran lemah pada pintu kayu di belakangku. Aku berharap mereka tidak sadar kalau wajahku sudah jadi pucat sepenuhnya. Setengah berteriak karena rasa takut sekaligus frustrasi, aku mengulang pertanyaanku. Seorang wanita muda akhirnya maju, mungkin dia ibu si bocah. Nampaknya dia sudah menangis berhari-hari; matanya nampak kering dan merah. Menurutnya, peristiwa itu terjadi ketika anak dan suaminya pergi "memancing," yang berarti mereka mencari sisa-sisa barang berharga di antara reruntuhan Dachang Lama yang telah tenggelam oleh air bendungan. Karena ada sekitar seribu seratusan desa yang terendam, selalu ada barang berharga yang bisa ditemukan. Praktik itu sangat umum sekaligus ilegal. Menurut si wanita, keluarganya tidak menjarah, namun hanya sekedar mengambil kembali barang-barang berharga mereka yang tak sempat mereka bawa. Dia terus mengulanginya sehingga aku harus meyakinkannya bahwa aku tak akan melapor pada polisi. Menurutnya, putranya kembali dengan bekas gigitan di kakinya. Si bocah tak tahu apa yang terjadi karena suasananya terlalu gelap dan airnya keruh. Sang ayah tak pernah terlihat lagi. Aku mengeluarkan ponsel dan menghubungi Doktor Gu Wen Kuei, rekanku ketika aku masih menjadi dokter tentara, yang sekarang bekerja di Institut Penyakit Menular di Universitas Chongqing. Ketika wajahnya muncul di layar video ponselku, kami berbasa-basi sejenak, membahas kesehatan masing-masing, bercerita tentang cucu-cucu kami. Aku lantas memberitahunya tentang wabah di desa, dan ia menanggapi dengan lelucon kasar soal kebersihan orang-orang kampung. Aku mencoba ikut tertawa, tapi akhirnya aku berkata bahwa hal ini mungkin patut menjadi perhatian. Dengan segan, dia bertanya padaku apa saja gejala-gejala yang ditunjukkan pasien. Aku memberitahunya segalanya: luka gigitan, demam, bocah itu... Ekspresi wajahnya mendadak menjadi kaku dan senyumnya hilang. Dia memintaku menunjukkan para pasien. Aku kembali ke ruang pertemuan desa dan mengarahkan kamera ponselku ke wajah masing-masing pasien. Dia memintaku mendekatkan kamera ke luka-luka para pasien. Aku melakukannya, dan ketika aku melihat ke layar ponselku lagi, dia ternyata sudah memutuskan hubungan video. "Tetap di tempatmu," katanya, hanya suaranya saja yang terdengar, begitu jauh dan datar. "Catat nama-nama mereka yang telah mengalami kontak dengan pasien. Tahan semua yang telah terinfeksi. Jika ada pasien yang mengalami koma, tinggalkan ruangan itu dan amankan semua jalan keluar." Suaranya datar mirip robot, seolah dia sudah melatih pidato ini sebelumnya. "Kau punya senjata?" Tanyanya. "Tidak, memangnya kenapa?" Tanyaku. Dia hanya bilang bahwa dia akan menghubungiku lagi. Katanya, dia akan menelepon beberapa orang, dan "bantuan" akan datang dalam beberapa jam. Bantuan yang dimaksud tiba tak sampai sejam kemudian; lima puluh orang pria turun dari helikopter Z-8A yang besar, semuanya mengenakan pakaian anti kontaminasi. Mereka bilang mereka dari Departemen Kesehatan, tapi mereka tak bisa membohongiku. Mereka nampak kasar, arogan dan mengintimidasi, dan bahkan orang-orang desa miskin terpencil itu tahu bahwa mereka adalah Guanbou**. Mereka langsung menuju ruang pertemuan desa. Para pasien diangkut dengan tandu, lengan dan kaki mereka dirantai, dan mulut mereka disumbat. Berikutnya giliran si bocah. Mereka mengangkutnya dalam kantung mayat. Si ibu meratap ketika dia dan penduduk desa lainnya dikumpulkan untuk "pemeriksaan." Nama mereka dicatat, darah mereka diperiksa. Satu-persatu mereka dilucuti dan difoto. Orang terakhir yang diperiksa adalah seorang wanita tua renta. Tubuhnya kurus dan bertonjolan, wajahnya penuh keriput, dan kaki kecilnya pasti pernah diikat saat dia masih gadis. Wanita itu mengacung-acungkan kepalan tinjunya ke arah para "dokter" itu. "Inilah hukuman kalian!" Pekiknya. "Ini balasan untuk Fengdu!" Fengdu adalah Kota Para Arwah, yang kuilnya dipersembahkan pada alam baka. Sama seperti Dachang Lama, Kuil Fengdu dianggap sebagai salah satu penghalang untuk Lompatan Besar Cina berikutnya. Kuil itu sudah pernah dipindahkan, dihancurkan, dan akhirnya ditenggelamkan. Aku tak percaya takhayul, dan aku bahkan tidak pernah mengisap opium. Aku seorang dokter, seorang ilmuwan. Aku hanya percaya pada apa yang kulihat dan kusentuh. Bagiku, Kuil Fengdu tak lebih dari atraksi murahan untuk wisatawan. Tentu saja kata-kata wanita tua itu tak berpengaruh bagiku. Tetapi nada suaranya...kemarahannya...wanita itu telah menyaksikan begitu banyak kengerian sepanjang hidupnya. Serbuan panglima perang, orang-orang Jepang, mimpi buruk sepanjang masa Revolusi Budaya...dia selalu tahu kapan bencana akan datang, bahkan ketika dia tidak memiliki pengetahuan untuk memahaminya. Doktor Kuei, kolegaku itu, sangat memahaminya. Dia sudah mempertaruhkan keselamatannya untuk memperingatkanku, memberiku waktu untuk menelepon atau bahkan memperingatkan beberapa pihak sebelum orang-orang "Departemen Kesehatan" ini datang. Sesuatu yang dia katakan di telepon...kata-kata yang tak pernah dilontarkannya lagi sejak perseteruan dengan Uni Sovyet di perbatasan kami. Saat itu tahun 1969. Kami sedang berada di bungker bawah tanah di Ussuri, kurang dari satu kilometer dari Chen Bao. Artileri Rusia berulangkali menghantam kami. Gu dan aku sedang berusaha mengeluarkan serpihan dari perut seorang prajurit yang usianya tak jauh beda dari kami. Ususnya telah robek, dan darah bercampur tinja mengotori baju operasi kami. Nyaris setiap detik, setelah suara tembakan terdengar, kami harus menunduk untuk melindungi lukanya dari tanah yang berjatuhan saat bunker kami dihantam, dan kadang kami cukup dekat untuk mendengarnya merintih memanggil ibunya. Ada suara-suara lain di belakang kami, keluar dari kegelapan yang mengarah ke pintu masuk bunker kami. Salah satunya berseru "Spetsnaz!" sebelum mulai menembak. Kami sudah tak tahu lagi milik siapa suara-suara tembakan yang kemudian terdengar. Suara rentetan tembakan lain terdengar, dan kami membungkuk lagi di atas tubuh pemuda itu. Wajah Gu hanya beberapa sentimeter dari wajahku. Ada butir-butir keringat menuruni keningnya. Bahkan di bawah penerangan redup lampu parafin, aku bisa melihatnya gemetaran, wajahnya pucat. Dia menatap pasiennya, menoleh ke arah pintu, lantas melihat ke arahku, dan mendadak dia berkata, "jangan khawatir, semuanya akan beres." Nah, kau harus tahu bahwa dia adalah pria yang tak pernah sekalipun mengatakan hal-hal positif dalam hidupnya. Gu tipe orang yang sering cemas. Jika dia sakit kepala, dia akan bilang mungkin dia kena tumor otak. Jika hujan turun, dia akan bilang bahwa panen tahun itu akan gagal. Itulah caranya agar dirinya selalu bisa memegang kontrol dan mengendalikan situasi. Ketika realita ternyata lebih mengerikan dari prediksi terburuknya, dia tak punya jalan lain kecuali mengadopsi cara berpikir lain. "Jangan khawatir, semuanya akan beres." Prediksinya kali itu ternyata benar; orang-orang Rusia tak berhasil menyeberangi sungai, dan kami berhasil menyelamatkan pemuda itu. Bertahun-tahun setelahnya, aku suka meledeknya soal optimisme singkatnya itu, dan dia selalu berkata bahwa dibutuhkan peristiwa yang jauh lebih mengerikan untuk membuatnya kembali mengatakan hal yang sama. Kemudian, kami menjadi tua, dan peristiwa mengerikan itu terjadi. Segera setelah dia bertanya apakah aku punya senjata dan aku bilang tidak, ada keheningan sejenak, sebelum dia berkata "jangan khawatir, semuanya akan beres." Saat itulah aku sadar bahwa itu bukan wabah terisolasi. Aku mengakhiri panggilan dan cepat-cepat menelepon putriku di Guangzhou. Suaminya bekerja di China Telecom dan selalu bertugas di luar negeri minimal seminggu dalam sebulan. Aku bilang pada putriku bahwa dia sebaiknya ikut dengan suaminya lain kali, dan bawa cucuku dan tinggallah di negara itu selama yang mereka bisa. Aku tak punya waktu untuk menjelaskan, karena sinyal ponselku mendadak mati segera setelah helikopter pertama muncul. Hal terakhir yang kukatakan pada putriku adalah "jangan khawatir, semuanya akan beres." (Kwang Jingshu ditahan oleh MSS dan dipenjara tanpa diadili. Ketika dia akhirnya dilepaskan, wabah zombie telah menyebar hingga keluar perbatasan Cina).
0 Comments
Leave a Reply. |
Categories
All
Archives
December 2017
|